Laman

Senin, 10 Januari 2011

माय MEMORY

Dengarkan ceritaku. Dulu ketika aku SD, aku bukan sosok yang patut dilirik. Keluargku adalah percampuran antara dua suku. Jawa dan besemah. Ayahku adalah orang asli Besemah yang berasal dari Dusun Tnjung Pasai. Sedangkan ibuku adalah asli jawa yang polos. Kami tinggal di desa aurduri. Namun ternyata tak begitu banyak yang mengenal desa kami jika kusebut dengan nama desa it. Tapi kalau kusebut desa elngais, maka tak heran dari desa jauhpun tahu, dimana letak desa kami. Karena, selangis di desa kami sangat familiar bagi kalangan pemancing sejati.

Sahabat, dulu ketika aku masih kecil. Kami bertiga, aku ayukku dan kakakku, sering sekali diolok-olok sebagai suku jawa yang menyedihkan. Entahlah, apa yang membuat mereka sangat menyudutkan kami. Tapi satu hal yang sering kudengar, karena kami dari suku jawa.

Baiklah, akan kucerikan bagaimana aku kecil. Aku berkulit hitam, kata teman-temanku. Walau ternyata kata guruku nggak ada istilah kult hitam, yang ada , kulit sawo matang. Rambutku keriting, jelek, katanya. Aku paling kecil dibandingkan dengan teman-temanku. Aku lemah, tak berdaya jika diajak bertengkar. Pasti aku kalah. Suatu kali aku disuruh ibu pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Ada anak kecil yang umurnya dibawah aku. Belum masuk SD. Dia duduk didekat warung ditemani oleh satu orang dewasa. Dia duduk sambil merangkul anak tersebut. Dari jauh dia sudah meneriakiku.

“ jeme jawe-jeme jawe. Itam-itam”. Aku hanya berjalan saja. Sambil memandangi mukanya yang sepertinya benar-benar tidak menyukaiku. Orang dewasa disebelahnya diam saja, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku berjalan pulang dengan berusaha menganggap itu biasa saja. Ya, karena bila nanti kuceritakan dengan ibuku, dia pasti akan menjawab. “alah, dide nak dianingi. Pendamkah be”. Bunda nrimo, dengan semua yang terjadi. Kami memilki banyak keluarga dari pihak ayah di desa Aurduri. Namun akrabnya seperti bungn musiman. Kalau akrab, dekat sekali. Tapi kalu sedang tidak senag hati, keburukan seperti hal biasa untuk dibicarakan. Lagi-lagi, kami sering dianggap parasit. Keluarga miskin yang tangannya selau dibawah. Suatu ketika, anak-anak Wakku pulang. Ada yang dari Lahat, Tangerang, dan Belitang. Keluarga wakku, adalah keluarga besar. Cucunya, kala itu sudah banyak, ada beberapa yang sebaya dengan aku. Pagi itu kami asik bermain di teras depan rumah wak. Ramai. Beberapa lama kemudian, salah satu sepupu jauhku menaruh bakwan goreng yang masih hangat ditengah-tengah kami. Kemudian dia memanggil keponakn-keponakannya. Dan dibaginya satu-satu. Aku tak dipanggil, makanan di piring itu habis. Dia langsung masuk kedalam lagi. Tanpa menoleh kearahku sedikitpun. Yaaa, beginilah, biasa sajalah.

KEAHLIANKU

Aku pandai berenang. Berlomba dengan teman-temanku untuk mengambil koral di dasar sungai yang dalam, melompat dari pohon yang tinggi, berenang dengan ban, batang pisang atau rakit dari hulu kehilir. Bahkan ketika sungai sedang pasang. Huh! Kalau aku ingat, ingin rasanya mengulanginya kembali.

Mengisi hari-hari dengan memancing. Menyenangkan sekali. Setiap hari minggu, bulan puasa, atau setiap hari. Ikut kakak mamasang tagang2, menyeberang sungai, kehilir sungai. Dan pagi-pagi, ketika masih banyak embun, kami sudah berada di kali yang dingin untuk melihat, apakah ada ikan yang memakan umpan cacing dan ulat? Jika beruntung, tampak senyum lebar akan tersungging dari bibir yang beku. Tapi jika tidak, masih ada esok hari untuk mencoba. Ada kisah seru ketika bulan puasa. Aku, kakakku dan ayukku pergi memancing. Berkah dari anak jeme jawe nek itam nai keriting3. Kami dapat ikan satu mangkok besar. Yang bisa kami makan sampai dua hari. Pengalaman kami itu cukup menghebohkan. Beberapa orang dewasa tertarik untuk memancing seperti kami.

Kalau air sedang pasang, kami ramai-ramai menangkap udang dibawah akar pohon ditepi sungai. Udangnya banyak sekali. Jangan heran kalu sampai dapat satu ember ukuran 5 liter.

Dulu waktu kami masih SD. Tiap tahun pasti ada acara mbobos paok dusun. Semua warga boleh datang untuk menangkap ikan sesuka hati, sebanyak-banyaknya. Paok yang sangat luas itu adalah milik tiga dusun. Selangis, tanjung Pasai, dan Suban. Jika ada kabar paok telah dibobos, maka semua warga akan datang kesana untuk menangkap ikan dengan alat masing-masing. Kamipun, anak-anak tak akan ketinggalan. Siapa yang mau ketinggalan menangkap ikan gratis sebanyak-banyaknya. Siapa yang lincah, akan tahu dimana sarang ikan berada. Siapa yang lihai, akan tahu dimana ikan kepayahan setelah mencari persembunyian yang tak ditemukannya. Dan seperti hari itu, kami secara berkelompok, mengajak teman-teman yang lain untuk sama-sama menangkap ikan. Selepas pulang sekolah, kami dengan sigap berganti pakaian buruk dan membawa tempat apa saja yang bisa digunakan untuk menagkap ikan. Senek-senek kesayngnan ibu tak luput dari perhatian. Pokoknya mangkok-mangkok yang banyak lubang bisa dimanfaatkan. Setelah itu, kami akan menyeberang sungai. Walaupun kadang-kadang keadaan waktu seperti itu bersamaan dengan musim hujan, sungai menjadi pasang. Tak menjadi masalah bagi kami untuk menyeberang sungai. Karena kami semua lihai berenang.

Kami biasanya akan mulai mencari ikan dari siring yang paling dekat dengan sungai besar. Kemudian terus menelusuri hingga sampai pangkal siring dekat tebat. Ikan mujahir, udang, ikan sepat bahkan ikan Keli atau kalang, bisa kami kumpulkan. Senaaang sekali! Kami tak terlalu berani menuju tebat lewat jalan besar. Malu. Melewati dusun Suban, terkesan ngandon. Hina. Lebih-lebih jika pulangnya. Kendaraan yang membawa penumpang hilir mudik. Pasti akan heran memandang kami yang dekil dan beku. Maluu! Lewat sungai jauh lebih menyenangkan.

Kuburan Cina

Setipa bulan 4, daerah pekuburan cina pasti ramai oleh peziarah. Yang menarik disini adalah peziarah tersebut membawa makanan dan buah-buah yang banyak. Yang kami cari hanyalah buah atau permen. Tak lebih dari itu. Kami telah cukup percaya bahwa makanan cina sering terkontaminasi oleh minyak babi. Kami, meski bukan penganut islam yang taat kala itu, tak sedikitpun tergoda atau ngiler oleh makanannya yang lezat-lezat. Karena kami selalu diwanti-wanti oleh keluarga kami untuk tidak mengambil atau meminta makanannya itu. Ya karena minyak babi itu.

Pahamlah, kami adalah keluarga miskin. Apel, pir, anggur, pisang, jeruk sunkis adalah buah yang amat sangat jarang kami makan. Kami hanya bisa makan setahun sekali. Pada bulan 4 itu. Pada musim cina ziarah.

Diantara peziarah itu macam-macam sifatnya. Ada yang pemurah, tanpa kami minta pun, mereka akan memberikannya pada kami dengan dibagi rata. Tentunya setelah mereka selesai sembahyang. Kami sabar menanti. Tapi untuk yang pelit, tentu saja setelah mereka selesai sembahyang, mereka akan menyimpanlah lagi untuk dibawa pulang. Untuk kelompok ini, kami akan sangat paham kuburan yang mana, muka orangnya. Sebagai peringatan, tahun depan tak akan kami tunggu.

Ada dua peziarah yang baik hati. Pertama adalah, hmmm! Aku lupa namanya. Karena bapakku kala itu adalah penjaga keamanan disana, jika selesai ziarah, satu asoi besar yang berisi penuh dengan buah buahan diberikan pada kami. Atau satunya lagi. Jangsa’ namanya. Setelah ia selesai ziarah, dia membagi-bagikan uang 100an-500an kepada penduduk peribumi disana. Siapa yang mau ketinggalan. Aduhai miskin sekali kami. Kakakku dan ayukku dengan sigap meminta. Tapi pada saat aku juga ingin minta, ayah melarangku untuk melakukan itu. Malu katanya. Tapi aku langsung bilang pada ayukku, bahwa aku ingin minta sebagian.

Setelah banyak buah-buahan kami kumpulkan di atas tampah. Sebuah tempat yang biasa digunakan untuk menampi beras. Kami taruh dibawah ranjang agar aman. Buahnya macam-macam. Jeruk sunkis, pisang susu, apel dan pir. Kami sering mengintip kearah ranjang tersebut. Sekedar untuk mencium bau yang bercampur itu. Wangi sekali. Dan pada yang kami pikirkan, baunya memenuhi ruangan. Hehehe. Jika ingin memakannya, kami akan konsekuen dan berlaku adil. Dibagi rata dan dimakan bareng. Lucu, lugu, dan malu-malu....(in). Hohoho.

Sekolahku

Aku bersekolah di SD 13 Karang Dalo. Sekitar 1 kilometer. Kami biasa jalan kaki. Pagi hari setengah 7 kami semua rata-rata telah siap untuk berangkat. Jika musim dingin, mandi di kali membuat kami sangat menggigil. Sambil berjalan, tangan-tangan kami dibekap si dada. Jika tiba di Simpang Kerta Dewa, kami akan menjumpai sebuah rumah istana. Halamannnya luas, banyak bunga mawar. Ada patung gajah dan kuda yang bagus. Jika sudah sampai disana. Jarang yang tidak menoleh kesana. Pastinya pikirannya berkecambuk. Alangkah nikmatnya tinggal disana. Pasti tidurnya dikasur empuk. Bisa makan jambu air dengan sepuasnya. Tak perlu susah seperti kami. Beberapa tahun kemudian sebuah belukar di depan rumah tersebut dibangun sebuah taman makam pahlawan aku diajar oleh Ibu Parmi. Suparmi nama lengkapnya. Kelas 2 dengan Ibu ..........., kelas 3 sama pak Marni, kelas 4 aku diajar oleh Ibu Harmi. Dikelas 4 inilah aku bisa membaca. Aku baru paham bahwa kalau “n” ketemu “g” akan dibaca “eng”. Lama aku memikirkan kenapa dibaca “eng”. Dan kusimpulkan sendiri bahwa itu sudah dari sononya. Yang kuingat bahwa Pak Marni itu lucu.

Segitu saja. Masa kecil yang menyenangkan!

1 komentar: